Oleh : Lisa Tjut Ali
Kepergian
Marina
Marina
adalah teman masa kecil saya. Sebenarnya usia saya dengan Marina jauh berbeda.
Dia lebih cocok jadi adik saya, daripada sebagai teman sepermainan. Di Komplek
Pendopo tidak ada teman seumuran saya, akhirnya Marina lah jadi teman sepermainan.
Waktu kecil kami kerap menghabiskan hari bersama. Kami pun saling membantu bila
mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah tidak ada pembantu rumah tangga, jadi
pekerjaan rumah kami kerjakan bersama-sama ahli keluarga, ibu yang memasak,
kakak yang menyapu dan merapikan rumah, sedangkan mencuci piring menjadi tugas
saya setiap sore. Marina selalu datang membantu membilas piring-piring yang
sedang saya cuci dan menemani saya mandi. Setelah itu gantian saya yang
menemaninya.
Saya masih
ingat ketika Marina menjatuhkan sabun ke dalam sumur. Saat itu rumah di komplek
satu sumur dibagi untuk dua rumah. Rumah saya dan Marina bertetangga, jadi satu
sumur itu untuk dua kamar mandi yaitu kamar mandi saya dan kamar mandi Marina.
Karena posisi kamar mandi yang bersebelahan dengan Marina, saat mandi kami suka
sekali tukaran sabun melalui sumur. Waktu itu Marina baru membeli sabun yang
sangat harum, kami pun bertukaran, rupanya tangan saya dan Marina saat itu
licin, sabun batangan pun jatuh ke dalam sumur, alhasil air tidak bisa di
gunakan untuk masak dalam beberapa hari, saya dan Marina pun kenyengiran mengakui
kesalahan kami, keluarga Marina dan saya pun mulai gotong royong untuk menguras
air sumur.
Jika semua tugas selesai, biasanya
kami akan bermain bersama. Setiap anak-anak komplek akan mengaji di surau
pendopo. Bila waktu mengaji kami akan berangkat bersama. Marina termasuk
anak yang pintar, suara Marina mengaji mengalun begitu merdu.
Marina juga
yang jadi motivasi untuk saya, ketika saya belajar berkreatif, membuat
gantungan kunci bertuliskan nama, ia pula yang pertama yang memesan buatan
tangan saya, saya sangat senang sekali mendapat apresiasi dari Marina sehingga
ingin membuat lebih baik. Ketika saya sakit dan ingin bercerita Marina juga
tempat curhat saya. Curhat polos masa anak-anak. Kami juga pernah berselisih
paham, namun hanya sebentar, salaman tangan, ucapan maaf dan senyuman yang
menyatukan kami kembali.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu
cepat. Kami semakin tumbuh dewasa, Marina menjadi gadis yang sangat manis.
Sayang, menginjak usia dewasa kami tidak bisa bersama lagi setiap hari, saya
harus pindah rumah ke desa Lampisang karena ayah sudah pensiun kerja. Lambat
laun Marina juga pindah rumah ke Lamdingin. Walau rumah kami jauhan namun kami
tetap jalin silahturrahmi.
Tahun 2004, ketika saya harus kehilangan Marina
Hari itu gempa dan tsunami melanda
Aceh, tempat tinggal saya dan Marina termasuk lokasi terberat kena tsunami.
Saat itu kami masing-masing berjuang menyelamatkan diri dari hantaman tsunami,
saya tidak tahu bagaimana keadaan Marina ketika berjuang dalam amukan gelombang
air yang hitam memekat, karena saya sendiri juga sedang bertarung dengan
gelombang yang sama.
Allhamdulillah, saya selamat. Innalillahi wa innailaihi
roji'un, Marina telah kembali kepada Yang Maha Cinta. Saya mendapat kabar Marina,
ibu dan adik-adiknya telah tiada, diri ini merasa kurang yakin dengan kabar
tersebut, untuk mendapat kepastian, saya pergi ke area rumah Marina. Semua
rumah telah rata menjadi tanah hingga tak berbekas, tak ada lagi pagar kokoh
tempat biasa Marina berdiri melambaikan tangan bila saya pergi atau pulang dari
rumahnya, tak ada lagi senyuman manis dan manja Marina yang selalu berdiri di
sudut pintu, saya kehilangan Marina, saya kehilangan teman masa kecil saya.
Walau Marina telah pergi, ia sering
hadir dalam mimpi saya, ia seakan masih hidup dan ikut kemana jiwa saya pergi.
Ketika saya di Aceh ia selalu hadir dalam mimpi, ketika saya merantau ke Malaysia,
saya juga bermimpi tentangnya dan kini ketika saya harus berpindah ke benua
lain, ia tetap hadir dalam mimpi , ia tetap menjadi teman terbaik walau hanya
dalam mimpi. Kami seolah-olah dekat, kami masih bercerita bersama. Kini hanya
doa yang dapat saya kirim untuknya.
Kehilangan Marina seperti kehilangan
satu anggota tubuh, saya seperti kehilangan akal untuk berpikir, saya seperti
tidak tahu lagi bagaimana untuk tersenyum, namun mimpi-mimpi indah dan
senyumnya terus memotivasi saya untuk terus berkreatif dan melupakan trauma
tsunami. Tangannya seakan mengiring saya untuk terus tersenyum dan berjalan
menyongsong kehidupan. Meski Tsunami membawa pergi Marina, namun saya
bersyukur, Allah pernah memberi saya kesempatan mengenal Marina, walau hanya
sesaat.................
Ketika Macut pergi
Macut adalah
adik ibu saya. Sejak kecil Macut yang yatim tinggal bersama kami. Ibu saya yang
membiayai sekolah Macut. Waktu itu kami masih kecil-kecil, selain dengan orang
tua, sama Macut lah kami bermanja. Dari mandi, buat PR, bermain ditemani oleh
beliau. Ketika kami mulai dewasa dan Macut sudah selesai sekolah, beliau mulai
mencoba hidup mandiri di kampung, ibu tidak melarang keinginan beliau, lagi
pula beliau masih sering juga ketempat kami, begitu juga dengan kami, bila
telah tiba masa liburan, pasti balik kekampung untuk menjenguk Macut. Saya
sangat suka berlibur kekampung. Di kampung saya hidup bak seorang putri, apa
yang saya inginkan selalu dibelikan oleh Macut, jika kepasar saya selalu
dibelikan berbagai macam mainan, baju dan makanan, saya betah sekali berayun
manja dengan Macut. Satu hal yang membuat saya sedih, melihat Macut yang sudah
berumur tidak juga menikah, padahal saya ingin sekali melihat beliau menikah
dan punya keluarga.
Waktu
berjalan seperti jarum jam, cepat tak pernah berhenti, saya yang dulunya masih
bermanja dipangkuan Macut, kini sudah membina rumah tangga, meski sudah menikah,
kasih sayang saya pada Macut tidak berubah.
Awal 2007
Saya
mendapat kabar bahwa Macut sakit parah, akhirnya Macut kami rujuk dari rumah sakit
di kampung ke rumah sakit Banda Aceh agar lebih dekat dengan kami. Saat itu
kakak yang bekerja di bagian kesehatan yang mengurus rujukan untuk Macut, kakak
memilih rumah sakit swasta terbaik yang ada di Banda Aceh waktu itu, kami pun memilih
kamar yang bagus untuk Macut, kami berharap agar Macut yang hanya sebatang
kara, tanpa ayah, ibu dan suami, tidak merasa kekurangan kasih sayang, kami ingin
Macut tahu bahwa kami selalu menyayangi beliau. Kami sekeluarga bergantian
menjaga Macut waktu itu, karena mengingat saya dan kakak bekerja. Waktu itu
saya sedang terikat kontrak dengan salah satu NGO dan bertugas keliling
propinsi Aceh sehingga tidak bisa jaga Macut sepanjang hari. Setelah dirawat di
Banda Aceh Macut menyatakan keinginannya untuk kembali ke kampung, beliau ingin
dirawat disana, walau kami sudah membujuknya namun beliau ingin sekali tetap
balik ke kampung. Mengingat di kampung juga ada ahli keluarga dekat pihak ibu
yang akan menjaga, kami akhirnya akur dengan keinginan beliau untuk balik
kampung.
Setelah
beberapa hari di kampung, saya mendapat kabar bahwa Macut akan dioperasi,
menurut salah satu ahli keluarga di kampung, setelah diamputasi, Macut akan
dibuat kaki palsu gratis oleh salah satu NGO.
Allhamdulillah,
operasi Macut berjalan lancar, kami bahagia mendapat kabar itu. Apalagi setelah
operasi, Macut masih bisa tersenyum, namun siapa menduga, rencana Allah, Allah
lebih sayang Macut, Macut dipanggil oleh Yang Maha Cinta tanpa sempat
mengunakan kaki palsu .
Saat
mendapat kabar tersebut, saya sedang berada di kabupaten lain. Penguburan Macut
langsung dilakukan tanpa menunggu kepulangan saya. Kakak dan ibu saya bertuah
sekali, mereka sempat memandikan beliau untuk terakhir kalinya.
Saya tak menyangka,
kalau senyuman, canda Macut saat berada di rumah sakit Banda Aceh merupakan
canda dan senyuman yang terakhir untuk saya, saat itu saya dan suami duduk
persis di depan kepala Macut, saya belai-belai rambutnya yang semakin tipis,
saya candai beliau hingga tersenyum dan melupakan sakit walau sesaat.
Saya tak
menduga lambaian tangan beliau saat di ambulance merupakan lambaian tangan
perpisahan.
Saat
mendapat kabar duka tentang Macut, saya dari Sabang ke Banda Aceh lalu langsung
ke Sigli naik motor, kami memandu seperti orang kesetanan agar dapat melihat
raut ketenangan Macut yang terakhir kali, tapi yang tersisa hanya tanah basah
diatas kuburannya.
Kini Macut
telah pergi, tiada lagi belaian atau dogeng pengantar tidur darinya. kehilangan
Macut seperti kehilangan satu kaki saya, saya seakan pincang untuk berjalan,
saya seakan tertatih-tatih tanpa nasehat dan senyumnya.
Terima kasih
Yang Maha Cinta, karena memberi saya kesempatan bersama Macut, walau hanya
sesaat. Saya tahu Yang Maha Cinta lebih tulus menyayangi Macut daripada saya.
Tiada lagi senyum Dedi
Dedi adalah adik ipar saya, orangnya super kocak dan
ribut, sangat berbeda dengan suami saya yang sangat pendiam, karena sifat Dedi
yang gokil inilah buat saya mudah akrab dengan keluarga suami. Sifat periang Dedi
bisa merubah suasana rumah mertua yang kaku menjadi riuh.
Belakangan Dedi sakit berat, keluar masuk rumah sakit
seperti absen mingguan, badannya semakin kurus, yang tersisa hanya semangat dan
keceriaannya. Kami sudah berusaha mengobatinya baik secara medis maupun secara
tradisional, namun sakit Dedi tidak juga pulih.
Waktu itu Dedi
sempat dirujuk kerumah sakit banda aceh, kondisinya mulai membaik dan dokter
mengizikannya kembali kerumah. Beberapa hari dirumah, sakit Dedi kumat lagi hingga akhirnya kembali
dibawa kerumah sakit.
Saat sedang dirawat di rumah sakit, Dedi minta pulang
ke rumah, dokter tidak mengizinkannya pulang, namun Dedi tetap nekat ingin
pulang. Seakan ia sudah mengerti, telah tiba masanya ia akan pergi untuk
selamanya dan ia ingin menghabiskan nafas terakhir hanya di rumah. Berulang
kali saat itu ia katakan pada bunda bahwa ingin cepat pulang, waktu hanya
tersisa beberapa menit lagi. Akhirnya bunda pun membawanya pulang, papa saat
itu sedang ke Medan untuk membeli obat untuk Dedi, saat itu Dedi juga minta
dibelikan pesawat mainan pakai remote. Permintaan yang aneh menurut papa, lagi
sakit tapi malah minta pesawat, namun
papa tetap memenuhi keinginannya.
Dalam perjalanan pulang Dedi tak henti-hentinya
berzikir, bunda yang melirik Dedi disampingnya berulangkali mengusap keringat
dingin yang keluar di dahinya. di biarkannya Dedi terus berzikir sambil
memejamkan mata dengan harapan agar ia bisa tertidur nyenyak dalam perjalanan
pulang. Saat sampai dirumah, ketika bunda hendak membangunkan Dedi, bunda
mengira Dedi ketiduran, ternyata Dedi telah pergi untuk selamanya.
Dedi
pergi tanpa menunggu kepulangan kami. Dedi
pergi tanpa menunggu papa. Dedi pergi tanpa sempat menerbangkan pesawatnya. Kini
yang tersisa hanya kenangan dan kebersamaan dengannya. Pesawat itu masih
tertata rapi diatas lemari. Masih utuh dengan bungkusan, karena si pemilik
telah pergi tanpa kembali.
Nek Neh pun pergi
Nek Neh bukan nenek kandung saya, beliau adalah macut
dari nenek. Nek Neh tinggal bersama sepupu ayah, rumahnya persis di depan rumah
kami. Nek Neh sangat suka duduk di depan teras sambil memperhatikan
cucu-cucunya yang pulang-pergi dari sekolah atau kerja. Mulut nya pun tidak
berhenti dari berzikir. Senyum, sapaan, doa dan lambaian tangannya seakan jadi
semangat untuk kami. Saya sangat suka duduk
di teras dengan Nek Neh jika pulang kerja. Menyenangkan sekali duduk
dengan Nek Neh. Kalau sedang duduk dengan Nek Neh saya sangat suka minta
diceritakan tentang sejarah atau kisah-kisah lama, biasanya permintaa saya tak
pernah di tolak Nek Neh. bagi saya Nek Neh seorang wanita yang istimewa,
istimewa dalam beribadah juga istimewa dalam menjaga kesehatan. Beliau termasuk
wanita yang sangat awet muda dan sehat. Di usia beliau yang hampir lebih dari
100 tahun namun masih mampu berjalan tanpa tongkat, bahkan beliau masih bisa
membaca Alquran tanpa kacamata, ingatan beliau juga masih kuat, beliau bisa membedakan antara saya dan
kakak-kakak, walaupun saya dan kakak merantau dan baru pulang saat liburan. Beliau
juga masih ingat sejarah-sejarah lama dan teman-teman beliau. Di usia senjanya
beliau masih rutin berpuasa senin kamis. Satu hal yang membuat saya merasa
nyaman berada dekat beliau adalah karena sifat beliau yang tulus, mulutnya
penuh dengan ucapan yang baik dan doa indah. Bagi saya ucapan seseorang itu
merupakan doa dan ucapan yang baik merupakan doa yang baik. Ucapan-ucapan nek
neh selalu mengandug doa yang indah, rasanya rasa lelah saya seharian lenyap,
ketika mendengar Nek Neh berkata '' Beumeutuah, beupanyang umu, beusehat,
beumalem , beukaya cuco lon ( Semoga
bertuah, panjang umur, sehat, Alim, kaya cucu saya). Aamiin.
Saat
saya di Malaysia, saya ditelpon oleh kakak memberitahu bahwa Nek Neh telah
meninggal, saya begitu sangat sedih kehilangan Nek Neh, kini tak ada lagi orang
yang menengur dan melambaikan tangan saat saya pergi dan pulang kerja. Teras
itu telah sepi, Nek Neh wanita bermulut doa itu telah pergi untuk selamanya. Saya
seperti kehilangan tangan, saya kehilangan lambaian-lambaian penyemangat kala
bekerja.
Ternyata
hidup itu tak abadi, semua akhirnya akan kembali, hanya amalan baik yang akan kita bawa dan
hanya kenangan manis yang tersisa untuk
orang terdekat kita
(* Catatan dan renungan
Hiks, ceritanya sedih semua. Memang kehilangan orang-orang yang kita cintai itu seperti ada ruang kosong di hati kita. Saya mengalami ketika kehilangan ibu, bapak dan kedua mertua saya.
BalasHapusSubhanallah, kalau ketemu orang seperti Nek Neh itu pasti kita senang sekali. Sungguh pribadi yang patut dijadikan contoh. Kata-katanya selalu mengandung doa.
semoga ibu, bapak dan kedua mertua mbak titi mendapat tempat terbaik disisi Allah
Hapussemoga semua yg telah berpulang mendapatkan tempat terbaik di sisiNYa...
BalasHapusAamiin, makasih mbak untuk doanya
HapusTerus terang, saya ngga berani baca... takut sediiih... tapi saya asli jatuh cinta sama fotonya <3
BalasHapusmakasih mbak sudah mampir kemari
HapusAku juga kehilangan banyak sahabat ketika Tsunami kak...sedih rasanya karena sama sekali tak menduga....
BalasHapusJuga abisyik yang baru beberapa bulan ini meninggal tanpa sempat bertemu karena jarak. Yah semua akhirnya akan kembali. Begitu juga kita hanya kita belum tahu waktunya.
semoga semua yg telah berpulang mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT
Hapusrasa sedih dan kehilangan pasti ada saat kehilangan sahabat, keluarga dekat ya mbak
BalasHapussangat kehilangan mbak ketika mereka pergi, makasih ya mbak udah mampir lagi
HapusSemoga mereka semua mendapat tempat yg terbaik disisi-NYA, Allah mengampuni dosa-dosanya dan Allah menerima amal perbuatannya....Amiin...Semangat ya mbak...Salam kenal
BalasHapusAamiin, makasih ya mbak untuk doanya. Salam kenal juga
HapusTurut berdukacita atas kepergian orang-orang terkasih, Mak. Saya baru mengalaminya. Saya kehilangan sosok wali kelas Faruq. Beliau menyerah pada kanker tulang. Kami sudah seperti sahabat. Saya selalu berdiskusi ttg Faruq kepadanya. Umurnya 10 tahun lebih muda daripada saya, tapi kalau ngobrol, kami selalu nyambung.
BalasHapusSemoga Allah melapangkan kubur mereka semua. Dan kita dipertemukan lagi di jannah-Nya. *tears* *peluk Mak Lisa*
Makasih mak Haya untuk doanya, semoga mereka semua mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT
Hapus(*meluk mak Haya erat-erat
Wah... benar-benar terharu kak...
BalasHapusSemoga mereka semua ditempatkan di Surga Allah nantinya aamiiin
Aamiin. makasih dek untuk doanya
Hapussemoga mereka yg lebih dulu meninggalkan kita mendapat tempat terbaik di sisi Nya. Aamiin
BalasHapusAamiin, makasih mbak doanya
Hapusinspiratif sekali
BalasHapussemoga yang ditinggalkan diberi kekuatan amin
BalasHapussemoga diterima disi nya
BalasHapussemua memang akankembali kepada nya kelak...
BalasHapusterimakasih info nya sangat bermanfaat
BalasHapus